Pada Jumat, 30 Mei 2008 yang lalu, KPK telah menggeledah Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok. Dalam penggeledahan tersebut ditemukan sejumlah uang dalam bentuk tunai dan transfer senilai sekitar lima ratus juta rupiah yang diduga berasal dari para importir (Bisnis Indonesia, 2/6/2008).
Nilai perolehan ini bisa dikatakan lebih kecil dari yang sebenarnya mengingat lamanya aktivitas operasi di pelabuhan tersebut ketika digrebek belum mencapai waktu 24 jam. Namun, bila diasumsikan satu hari terdapat uang pungli minimal sebesar lima ratus juta rupiah, maka dalam setahun pungli yang dikumpulkan oleh oknum pegawai tersebut dapat melebihi seratus delapan puluh juta rupiah.
Tetapi, nilai transaksi tersebut belum seberapa, mengingat pungli tersebut hanya mencakup kemudahan untuk pengurusan impor yang belum mencakup pengurusan ekspor, itupun baru meliputi satu kantor pelayanan saja. Jika nilai pungli seluruh kantor pelayanan Bea dan Cukai ditambah pungli yang terjadi di berbagai instansi baik di lingkat pusat dan daerah turut diperhitungkan, nilainya akan jauh lebih besar lagi, bahkan diperkirakan dapat mencapai nilai triliunan rupiah.
Penggeledahan tersebut semakin meneguhkan opini masyarakat dan investor bahwa semua pengurusan perijinan di Indonesia umumnya berkaitan dengan uang ekstra. Tidak peduli semua prosedur yang ditempuh sudah sesuai peraturan, selama tidak ada uang ekstra jangan berharap urusan menjadi lancar.
Pernyataan "kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah?" rupanya menjadi mantra yang tertanam kuat dalam benak para birokrat kita. Kenyataan tersebut tersebut semakin menahbiskan Indonesia sebagai negara yang tidak market friendly yang tak direkomendasikan sebagai negara tujuan investasi utama mengingat masih tingginya mall administrasi berdasarkan survey World Bank yang terangkum dalam Doing Business 2007 and 2008.
"Comparative Advantages"
Kebijakan Indonesia untuk menarik investor asing dan domestik tidak akan pernah berhasil selama penyakit ekonomi biaya tinggi belum terkikis dengan signifikan. Pemerintah Indonesia sebaiknya segera menyadari bahwa keunggulan komparatif tradisional {traditional comparative advantages - upah buruh rendah, sumber daya alam dan penduduk yang melimpah - tidak lagi memberikan daya tarik yang efektif bagi investor untuk berinvestasi di negeri ini.. Apalagi traditional comparative advantages tersebut mulai goyah dikarenakan munculnya negara-negara pesaing- seperti China, Vietnam, India, dan lain-lain-yang memiliki traditional comparative advantages yang lebih menarik.
Dari segi biaya tenaga kerja misalnya, tenaga kerja di negara-negara pesaing, terutama China, dianggap berbiaya lebih murah dan lebih produktif dibandingkan dengan tenaga kerja Indonesia, sedangkan jumlah penduduk yang besar telah berkurang daya tariknya bagi para investor karena jumlah penduduk yang besar tersebut juga dibayangi rendahnya pendapatan per kapita dan membludaknya jumlah penduduk miskin baik di pedesaan maupun di perkotaan, sehingga tak lagi potensial sebagai pasar bagi penjualan produk-produk industri. Negara-negara tersebut juga memiliki keunggulan lain yang jauh lebih penting dalam dunia bisnis, yakni kepastian usaha.
Konsekuensinya, banyak investor asing yang berinvestasi dan merelokasi usahanya ke negara-negara lain, bahkan investor domestikpun mulai melihatbahwa negara pesaing tersebut, terutama China, jauh lebih kompetitif dibandingkan Indonesia, padahal Indonesia sangat membutuhkan investasi untuk mendorong mesin perekonomian yang masih tersendat.
Rendahnya investasi berdampak terhadap rendahya multiplier effect ekonomi Indonesia yang kemudian berimbas kepada tingginya angka pengangguran dan membludaknya penduduk miskin di Indonesia. Walaupun demikian, kita tak bisa menyalahkan atau menghujat mereka dengan stempel tidak punya nasionalisme karena uang tidak mengenal nasionalisme dan ideologi, uang hanya mengenal satu kata, yakniprofit.
Buruknya kinerja pelayanan publik kita ini tak terlepas dari warisan masa lalu yang telah mendarah daging dalam mental sebagian aparatur pemerintah. Selama ini, aparatur pemerintah telah terbiasa bertingkah sebagai tuan masyarakat, bukan sebagai pelayan masyarakat, sehingga ketika wacana reformasi birokrasi diluncurkan beberapa tahun lalu terjadi kegagapan implementasi dalam tubuh birokrasi seperti yang terjadi di tubuh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Ditjen BC).
"Good Governance"
Kondisi tersebut juga dibuktikan oleh survei integritas publik yang dilakukan oleh KPK terhadap instansi pemerintahan pada tahun 2008 yang menyebutkan dari tiga puluh instansi/-lembaga yang disurvey terdapat sebelas instansi/lembaga yang memiliki skor integritas yang rendah. Dalam posisi tiga besar, skor terendah dipegang oleh Departemen Hukum (4,15) dan Ham, Badan Pertanahan Nasional (4,16), dan Departemen Perhubungan (4.24). Ketiga instansi tersebut memiliki fungsi yang berkaitan erat dengan pelayanan sektor publik (usaha) yang kuat pengaruhnya terhadap maju mundurnya sektor perekonomian.
Oleh karena itu, Pemerintah baikpusat maupun daerah harus serius dan konsisten dalam penegakkan Good Governance (GG) yang salah satu prioritasnya adalah reformasi birokrasi yang menitikberatkan kepada upaya menciptakan pelayanan publik yang transparan dan akuntabel yang fokus utamanya adalah pemberantasan ekonomi biaya tinggi dan percepatan pengurusan perijinan yang efektif dan efisien.
Hal ini dikarenakan tanpa penitik-beratan pada kedua hal tersebut, Indonesia akan terus ditahbiskan sebagai negara yang tidak memiliki kepastian usaha, sehingga tak layak menjadi tujuan investasi.
Demi mencapai GG tersebut, pemerintah harus memulai menciptakan pelayanan publik dan usaha yang transparan dan akuntable serta mendorong partisipasi masyarakat untuk mengawasi pelayanan tersebut dengan membuka Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan (UPIK). Selain itu, pemerintah harus memulai transaksi pembayaran secara elektronik {online payment) yang bertujuan untuk mengurangi interaksi antara birokrat dengan masyarakat, sehingga meminimalkan celah terjadinya pungutan liar.
Upaya ini telah dirintis oleh beberapa pemerintah daerah salah satunya adalah Pemkab Sragen dan Pemkot Yogyakarta. Pelayanan yang transparan dan akuntabel akan menciptakan kepastian usaha, mengingat biaya dan waktu usaha dapat diprediksi.
Jika penerapan GG ini dilakukan dengan konsisten, biaya ekonomi tinggi yang selama ini menjadi momok bagi para pengusaha akan terkikis yang diharapkan akan menempatkan Indonesia menjadi negara yang kompetitif untuk berinvestasi. Imbasnya, peningkatan kemakmuran masyarakat akan semakin dekat.
Oleh Hendra Teja (Penulis adalah alumnus Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Andalas)
Sumber : Sinar Harapan, 18 Juni 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar