Minggu, 22 Juni 2008

misteri joker..??? (lanjutan)

JAKARTA,RABU - Dalam pemeriksaan internal hari ini, Rabu (18/6), mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kemas Yahya Rahman akhirnya mengakui bahwa suara dalam rekaman percakapan dengan Artalyta yang diperdengarkan di pengadilan Tipikor adalah suaranya. Kemas juga menyebut oknum misterius yang disebut sebagai 'Joker' merujuk kepada Joko Chandra, terdakwa kasus BLBI di Bank Bali yang kemudian divonis bebas.
Demikian disampaikan Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Kejagung MS Rahardjo, dua jam seusai pemeriksaan terhadap Kemas di Jakarta, Rabu (18/6). "Saat itu, Saudara Kemas Yahya menyatakan dia ingin cepat-cepat mengakhiri pembicaraan dengan Artalyta sehingga dia mengatakan 'Nanti, nanti, nanti...'. Dia menyebut Joko Chandra memang," ujar Rahardjo.
Penggunaan istilah 'Joker' oleh Kemas dan Artalyta Suryani memang mengindikasikan kedekatan antara keduanya. Akan tetapi dalam pemeriksaan itu Kemas mengaku baru dua kali bertemu dengan Artalyta di Gedung Jampidsus. "Dia membantah keakraban tersebut dengan bukti bahwa setelah Artalyta ditangkap, dia tidak dihubungi," ujar Rahardjo

misteri joker..???

Percakapan antara Kemas Yahya Rahman dan Artalyta Suryani sehari sebelum jaksa Urip Tri Gunawan ditangkap KPK memunculkan tokoh baru di Kejaksaan Agung: Joker. Tokoh yang disebut Joker itu muncul dalam percakapan telepon yang disadap KPK tanggal 1 Maret 2008 jam 13.00 WIB. Siapa sang Joker di Kejagung? Saat hakim Pengadilan Tipikor Andi Bachtiar meminta jaksa KPK memutar rekaman percakapan antara Artalyta dan Kemas, tokoh Joker itu diperbincangkan. Awalnya, Kemas yang ditelepon Artalyta menceritakan bahwa pekerjaannya dalam penanganan kasus Sjamsul Nursalim telah selesai. Hasilnya, kasus tersebut dihentikan penyelidikannya. Kemas lalu menceritakan, setelah menghentikan penyelidikan, dirinya dimaki-maki di media massa. Bahkan terancam akan dicopot dari jabatannya. "Jadi tugas saya sudah selesai, he-he-he. Sudah jelas, itu gamblang, tidak ada permasalahan lagi. Tapi saya dicaci maki, sudah baca (koran) Rakyat Merdeka nggak? Saya mau dicopot," ujar Kemas kepada Artalyta. Seusai mendengar keluh kesah Kemas, Artalyta pun menanyakan masalah Joker. "Masalah Joker?" ujar Artalyta. Kemas menjawabnya dengan mengatakan bahwa soal itu gampang. "Nanti..nanti. Saya sudah bicarakan dan sudah ada pesan dari sana. Sudah sampai itu," tegas Kemas. "Oh nggak, itu kan saya perlu jelasin Bang," sanggah Artalyta yang kemudian dipotong lagi oleh Kemas. "Jadi gini..gini... Ini sudah terlanjur kita umumkan. Ada alasan lainnya jadi sudah ada dalam perencanaan," ujar Kemas. Seusai rekaman dihentikan, hakim Andi Bachtiar menanyakan kepada Artalyta soal Joker tersebut. "Apa yang Anda maksud dengan Joker itu?" tegas Andi dengan nada meninggi. Artalyta yang saat rekaman diputar terlihat tertunduk lesu tidak bisa berkata apa-apa. "Joker...," ujar Artalyta yang tak melanjutkan jawabannya. "Apa maksudnya diungkapkan pada Kemas Yahya Rahman?" tegas hakim Andi. Artalyta pun kembali terdiam. Sesaat kemudian, ia menjawab, "Itu pembicaraan..., Tapi jelas bukan Pak Urip," ujar Artalyta dengan suara pelan. "Kalau begitu, siapa yang Anda maksud dengan si Joker?"
Mendapat cecaran tersebut, Artalyta kembali diam. Setelah agak lama, Artalyta menjawab, "Yang saya jelaskan, demi Tuhan, itu bukan Urip yang dimaksud," ujar Artalyta yang mengenakan baju lengan panjang warna hijau. Hakim Andi Bachtiar pun semakin bersemangat. "Kalau begitu siapa yang disebut dengan tujuan, terdakwa ungkapkan dengan si Joker. Kita paham siapa itu Joker. Pengunjung juga paham dengan Joker," tegasnya. "Nggak tahu saya," lanjut Artalyta. Hakim Andi kemudian menanyakan apakah yang dimaksud perencanaan itu adalah menyerahkan 660.000 dollar setelah percakapan tersebut. Artalyta menjawab, "Bukan, tidak ada hubungan dengan yang dibicarakan," tegas Artalyta. Kepada Urip Tri Gunawan yang duduk sebagai saksi, Andi mempertanyakan apakah Urip tidak merasa diperalat oleh Kemas atau orang lain di Kejagung. "Peristiwa itu adalah tanggung jawab saya pribadi dan kaitannya dengan Artalyta. Tidak ada kaitannya dengan Pak Kemas, Bapak Muhammad Salim ,maupun tim BLBI lainnya," ujar Urip.

"abis, enak siih..."

Pada Jumat, 30 Mei 2008 yang lalu, KPK telah menggeledah Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok. Dalam penggeledahan tersebut ditemukan sejumlah uang dalam bentuk tunai dan transfer senilai sekitar lima ratus juta rupiah yang diduga berasal dari para importir (Bisnis Indonesia, 2/6/2008).
Nilai perolehan ini bisa dikatakan lebih kecil dari yang sebenarnya mengingat lamanya aktivitas operasi di pelabuhan tersebut ketika digrebek belum mencapai waktu 24 jam. Namun, bila diasumsikan satu hari terdapat uang pungli minimal sebesar lima ratus juta rupiah, maka dalam setahun pungli yang dikumpulkan oleh oknum pegawai tersebut dapat melebihi seratus delapan puluh juta rupiah.
Tetapi, nilai transaksi tersebut belum seberapa, mengingat pungli tersebut hanya mencakup kemudahan untuk pengurusan impor yang belum men­cakup pengurusan ekspor, itupun baru meliputi satu kantor pelayanan saja. Jika nilai pungli seluruh kantor pe­layanan Bea dan Cukai ditambah pungli yang terjadi di berbagai instansi baik di lingkat pusat dan daerah turut diperhi­tungkan, nilainya akan jauh lebih besar lagi, bahkan diperkirakan dapat menca­pai nilai triliunan rupiah.
Penggeledahan tersebut semakin meneguhkan opini masyarakat dan investor bahwa semua pengurusan peri­jinan di Indonesia umumnya berkaitan dengan uang ekstra. Tidak peduli semua prosedur yang ditempuh sudah sesuai peraturan, selama tidak ada uang ekstra jangan berharap urusan menjadi lancar.
Pernyataan "kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah?" rupanya menjadi mantra yang tertanam kuat dalam benak para birokrat kita. Kenyataan tersebut tersebut semakin menahbiskan Indonesia sebagai negara yang tidak market friendly yang tak direkomen­dasikan sebagai negara tujuan investasi utama mengingat masih tingginya mall administrasi berdasarkan survey World Bank yang terangkum dalam Doing Business 2007 and 2008.
"Comparative Advantages"
Kebijakan Indonesia untuk menarik investor asing dan domestik tidak akan pernah berhasil selama penyakit ekono­mi biaya tinggi belum terkikis dengan signifikan. Pemerintah Indonesia sebaiknya segera menyadari bahwa keunggulan komparatif tradisional {tra­ditional comparative advantages - upah buruh rendah, sumber daya alam dan penduduk yang melimpah - tidak lagi memberikan daya tarik yang efektif bagi investor untuk berinvestasi di negeri ini.. Apalagi traditional comparative advan­tages tersebut mulai goyah dikarenakan munculnya negara-negara pesaing- seperti China, Vietnam, India, dan lain-lain-yang memiliki traditional compar­ative advantages yang lebih menarik.
Dari segi biaya tenaga kerja misal­nya, tenaga kerja di negara-negara pesaing, terutama China, dianggap berbiaya lebih murah dan lebih produk­tif dibandingkan dengan tenaga kerja Indonesia, sedangkan jumlah penduduk yang besar telah berkurang daya tariknya bagi para investor karena jum­lah penduduk yang besar tersebut juga dibayangi rendahnya pendapatan per kapita dan membludaknya jumlah pen­duduk miskin baik di pedesaan maupun di perkotaan, sehingga tak lagi potensial sebagai pasar bagi penjualan produk-produk industri. Negara-negara tersebut juga memiliki keunggulan lain yang jauh lebih penting dalam dunia bisnis, yakni kepastian usaha.
Konsekuensinya, banyak investor asing yang berinvestasi dan merelokasi usahanya ke negara-negara lain, bahkan investor domestikpun mulai melihatbahwa negara pesaing tersebut, teruta­ma China, jauh lebih kompetitif diban­dingkan Indonesia, padahal Indonesia sangat membutuhkan investasi untuk mendorong mesin perekonomian yang masih tersendat.
Rendahnya investasi berdampak ter­hadap rendahya multiplier effect ekono­mi Indonesia yang kemudian berimbas kepada tingginya angka pengangguran dan membludaknya penduduk miskin di Indonesia. Walaupun demikian, kita tak bisa menyalahkan atau menghujat mereka dengan stempel tidak punya nasionalisme karena uang tidak menge­nal nasionalisme dan ideologi, uang hanya mengenal satu kata, yakniprofit.
Buruknya kinerja pelayanan publik kita ini tak terlepas dari warisan masa lalu yang telah mendarah daging dalam mental sebagian aparatur pemerintah. Selama ini, aparatur pemerintah telah terbiasa bertingkah sebagai tuan ma­syarakat, bukan sebagai pelayan ma­syarakat, sehingga ketika wacana refor­masi birokrasi diluncurkan beberapa tahun lalu terjadi kegagapan implemen­tasi dalam tubuh birokrasi seperti yang terjadi di tubuh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Ditjen BC).
"Good Governance"
Kondisi tersebut juga dibuktikan oleh survei integritas publik yang dilakukan oleh KPK terhadap instansi pemerintahan pada tahun 2008 yang menyebutkan dari tiga puluh instansi/-lembaga yang disurvey terdapat sebelas instansi/lembaga yang memiliki skor integritas yang rendah. Dalam posisi tiga besar, skor terendah dipegang oleh Departemen Hukum (4,15) dan Ham, Badan Pertanahan Nasional (4,16), dan Departemen Perhubungan (4.24). Ketiga instansi tersebut memiliki fungsi yang berkaitan erat dengan pelayanan sektor publik (usaha) yang kuat pengaruhnya terhadap maju mundurnya sektor perekonomian.
Oleh karena itu, Pemerintah baikpusat maupun daerah harus serius dan konsisten dalam penegakkan Good Governance (GG) yang salah satu prio­ritasnya adalah reformasi birokrasi yang menitikberatkan kepada upaya mencip­takan pelayanan publik yang transparan dan akuntabel yang fokus utamanya adalah pemberantasan ekonomi biaya tinggi dan percepatan pengurusan peri­jinan yang efektif dan efisien.
Hal ini dikarenakan tanpa penitik-beratan pada kedua hal tersebut, Indonesia akan terus ditahbiskan seba­gai negara yang tidak memiliki kepas­tian usaha, sehingga tak layak menjadi tujuan investasi.
Demi mencapai GG tersebut, peme­rintah harus memulai menciptakan pelayanan publik dan usaha yang transparan dan akuntable serta men­dorong partisipasi masyarakat untuk mengawasi pelayanan tersebut dengan membuka Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan (UPIK). Selain itu, pemerintah harus memulai transaksi pembayaran secara elektronik {online payment) yang bertujuan untuk mengurangi interaksi antara birokrat dengan masyarakat, sehingga meminimalkan celah ter­jadinya pungutan liar.
Upaya ini telah dirintis oleh bebera­pa pemerintah daerah salah satunya adalah Pemkab Sragen dan Pemkot Yogyakarta. Pelayanan yang transparan dan akuntabel akan menciptakan kepastian usaha, mengingat biaya dan waktu usaha dapat diprediksi.
Jika penerapan GG ini dilakukan dengan konsisten, biaya ekonomi tinggi yang selama ini menjadi momok bagi para pengusaha akan terkikis yang di­harapkan akan menempatkan Indonesia menjadi negara yang kompetitif untuk berinvestasi. Imbasnya, peningkatan kemakmuran masyarakat akan semakin dekat.
Oleh Hendra Teja (Penulis adalah alumnus Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Andalas)
Sumber : Sinar Harapan, 18 Juni 2008

gerobak-emmod

blog baru